Sanggar Kesenian SBJ

Qualified Balinese Traditional Artists in Jakarta

SBJ - Travel

Set Up Your Destination With Us - Let's Get an Adventurous Journey in Bali or Jakarta

SBJ - Tirtha Yatra

Let's Have a Nice Holy Journey to Balinese Temple in Bali or Jakarta

SBJ - Merchandise

Get Our Unique Merchandise - You Can Create Your Own Design Here

SBJ - Devata Artworks

Exotic Artworks Now Available on Your Clothes

SBJ - Bali Traditional Food and Beverages

Taste Our Secret Recipe

SBJ - Management

Qualified Balinese Modern Music Band in Jakarta

Pacuan Kerbau atau Mekepung Keunikan Bali

Mekepung - Source



Bali sebagai salah satu Propinsi di Nusantara Indonesia, masyarakatnya adalah agraris yang terkenal dengan organisasi yang disebut Subak yaitu organisasi yang mengatur tentang pengairan disawah. Masyarakat petani dalam melakukan aktifitas pertanian di sawah dengan memanfaatkan alat-alat tradisional yang paling popular disebut bajak, yang mana dalam pengolahan tanah dibagi dalam tahapan-tahapan kegiatan yaitu untuk menggemburkan tanah memakai bajak tenggala, untuk membersihkan tanah dari gulma-gulma memakai bajak jangkar, untuk melumatkan tanah menjadi lumpur memakai bajak lampit slau, dan terakhir untuk menghaluskan tanah memakai bajak plasah. Setelah permukaan tanah lumpur tersebut halus baru ditanami padi bulih (tanaman pohon padi yang masih muda), yang mana dalam proses aktifitas pertanian di sawah ini masyarakat Bali menerapkan sistim kerja ngajakan (kerja gotong royong/bekerja saling Bantu membantu tanpa imbalan jasa).
Atraksi Mekepung ini hanya ada di belahan Bali Barat yaitu di Kabupaten Jembrana. Mekepung artinya berkejar-kejaran, inspirasinya muncul dari kegiatan tahapan proses pengolahan tanah sawah yaitu tahap melumatkan tanah menjadi lumpur dengan memakai bajak lampit slau. Dalam proses melumatkan tanah, petani sawah bekerja secara gotong royong bersama rekan-rekannya petani sawah termasuk beserta sanak keluarganya dalam mempersiapkan konsumsinya. Bajak lampit slau ditarik oleh dua ekor kerbau dan sebagai alat menghias kerbau maka pada leher kerbau tersebut dikalungi genta gerondongan (gongseng besar) sehingga apabila kerbau tersebut berjalan menarik bajak lampit slau maka akan kedengaran bunyi seperti alunan musik rok (dengan suara gejreng-gejreng), karena bekerja gotong royong maka ada bajak banyak yang masing-masing ditarik oleh dua ekor kerbau yang ditunggangi oleh seorang sais/Joki duduk di atas bajak lampit slau. Dalam kegiatan ini sais tersebut mulai ada yang ingin mengadu kebolehan kerbaunya dalam kekuatan menarik bajak, maka disinilah awal mulanya terjadi mekepung yaitu adu kekuatan kerbau menarik bajak sehingga untuk pertama kalinya adanya atraksi mekepung adalah mekepung di sawah yang berisi tanah lumpur yaitu di Subak Pecelengan Desa Mendoyo Dangin Tukad, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana – Bali. Lama-kelamaan kegiatan atraksi ini diikuti oleh petani lainnya dan berkebang di wilayah lainnya seperti di Subak Temuku Aya, Subak Tegak Gede dan Subak Mertasari dan kemudian berkebang khusus menjadi Atraksi Mekepung di Sawah yang kegiatannya dilakukan secara bergilir pada saat mulai ada air disawah.
Atraksi Mekepung di sawah ini berkembang sekitar tahun 1930 dan Sais/Jokinya berpakain ala prajurit Kerajaan di Bali jaman dulu yaitu pakai destar, selendang, selempod, celana panjang tanpa alas kaki dan dipinggang terselip sebilah pedang yang memakai sarung poleng(warna hitam putih). Berselang beberapa lama karena setelah selesai atraksi Mekepung di tengah sawah berlumpur para Sais/Joki selalu kotor dilumuri lumpur maka Atraksi Mekepung ini kemudian berkebang menjadi Mekepung di jalan yang ada di Sawah dan atraksi ini berkembang mulai tahun 1960 dengan dibentuk organisasi Mekepung yang terdiri dari dua kelompok yang diberi Nama “Regu Ijo Gading Timur” dengan lambang Bendera warna merah dan kelompok yang berada di sebelah Barat Sungai Ijogading diberi Nama “Regu Ijo Gading Barat” dengan lambang Bendera Warna Hijau . Ijo Gading adalah nama sebuah sungai yang membelah jantung Kota Negara, ibu kota kabupaten Jembrana, menjadi dua bagian yaitu belahan kota sebelah barat sungai Ijo Gading dan belahan sebelah timur sungai Ijo Gading.
Sarana yang dipakai bukan lagi Bajak Lampit Slau melainkan Pedati dengan ukuran sangat mini yang dihiasi dengan ukiran yang sangat menarik para Sais/Joki berbusana tradisional yaitu memakai destar batik, baju tanganpanjang memakai selempod, memakai celana panjang dan memakai sepatu tetapi tidak menyelipkan pedang pada pinggang sehingga Mekepung ini diberi nama “BENHUR JEMBRANA”.
Sebagai Pengurus Harian dibentuk pengurus yang namanya Koordinator Mekekpung Kabupaten Jembnrana dengan Koordinator I Wayan Gelgel dari Desa Delodbrawah, sebagai Ketua Regu Ijo Gading Timur (Blok Timur) adalah I Ketut Astawan dari Kelurahan Dauhwaru sedangkan Ketua Regu Ijo Gading Barat (Blok Barat) adalah Wayan Deken dari Desa Manistutu.
Masing-masing Regu membawahi 100 pasang kerbau pepadu (kerbau mekepung) dengan nama masing-masing pasangan kerbau sangat berpariasi seperti ada nama pasangan kerbau Batu Api, Embak Lampir, Hanoman, Gerandong, Nini Pelet, Raden Bentar dan lain-lainnya yang namanya sangat unik. Nama-nama ini sengaja dipilih dari nama-nama yang terdapat pada Legenda-Legenda yang sangat populer dan para Sais/Joki menginkan agar kerbaunnya bisa lebih populer sesuai dengan nama besar lakon legenda tersebut. 
Atraksi Mekepung dilaksanakan setiap hari Minggu dan dapat disaksikan mulai dari bulan Juni sampai dengan bulan Oktober yaitu berupa latihan dan sepuluh kali pertandingan dalam bentuk pertandngan lokal, pertandingan perebutan piala Bupati Cup (Agustus) dan pertandingan perebutan Piala Gubernur Cup (Oktober).

Jegog Mebarung Kesenian Khas Kabupaten Jembrana Keunikan Bali

Gamelan Jegog - Source



Kabupaten Jembrana di Bali Barat dengan ibu kotanya Negara, 100 km arah ke barat dari kota Denpasar menampilkan gambelan bambu (musik dari pohon bambu) lebih dominan.
Kabupaten Jembrana di Pintu Gerbang Bali Barat ini, memiliki kesenian khasnya yang diberi nama "Jegog", gambelan yang terbuat dari pohon bambu berukuran besar yang telah begitu populer baik di dalam negeri maupun di luar negeri sehingga Kabupaten Jembrana diberi julukan sebagai "Tanah Jegog" (Home of Jegog).
Kesenian ini diciptakan oleh seniman yang bernama Kiyang Geliduh dari Dusun Sebual Desa Dangintukadaya pada tahun 1912, kata jegog diambil dari instrumen Kesenian Gong Kebyar yang paling besar.
Awalnya, jegog hanyalah berupa tabuh (barung tabuh) yang fungsi awalnya sebagai hiburan para pekerja bergotong royong membuat atap rumah dari daun pohon rumbia, dalam istilah bali bekerja bergotong royong membuat atap dari daun pohon rumbia disebut “nyucuk”, dalam kegiatan ini beberapa orang lagi menabuh gambelan jegog. Dalam perkembangan selanjutnya gambelan jegog juga dipakai sebagai pengiring upacara keagamaan, resepsi pernikahan, jamuan kenegaraan, dan kini sudah dilengkapi dengan drama tarian-tarian yang mengambil inspirasi alam dan budaya lokal seperti yang namanya Tabuh Trungtungan, Tabuh Goak Ngolol, Tabuh Macan Putih dengan tari-tariannya seperti Tari Makepung, Tari Cangak Lemodang, sebagai seni pertunjukan wisata.
Penampilan gambelan jegog begitu menohok, para penabuh menari-nari di atas gambelan, suara jegog begitu gemuruh, rancak, riuh, bergaung dan sering menggelegar menembus ruang batas yang bisa didengar dari jarak jauh apalagi dibunyikan pada waktu malam hari suaranya bisa menjangkau jarak sampai tiga 3 Km.
Kesenian jegog ini bisa dipakai sebagai atraksi perlombaan jegog. Perlombaan jegog dalam bahasa Bali disebut "Jegog Mebarung", yaitu pementasan seni jegog dengan tabuh mebarung. Mebarung artinya bertarung antara dua jegog atau bisa juga bertarung antara tiga jegog, dalam bahasa bali disebut jegog barung dua atau jegog barung tiga .
Jegog mebarung ini biasanya dipertontonkan pada acara-acara syukuran yaitu pada acara suka ria di Desa.
Untuk di ketahui bagimana penampilan jegog mebarung, dapat dijelaskan sebagai berikut : Dua perangkat gambelan jegog atau tiga perangkat gambelan jegog ditaruh pada satu areal yang cukup untuk dua atau tiga perangkat gambelan jegog. Masing-masing Kru jegog ini membawa penabuh 20 orang. Pada saat mebarung masing-masing jegog mengawali dengan menampilkan tabuh yang namanya Tabuh Trungtungan yaitu suatu tabuh sebagai ungkapan rasa terima kasih dan hormat kepada para penonton dan penggemar seni jegog, dengan durasi waktu masing-masing 10 menit. Tabuh terungtungan ini adalah tabuh yang suaranya lembut dan kedegarannya sangat merdu karena melantunkan lagu-lagu dengan irama yang sangat mempesona sebagai inspirasi keindahan alam bali.
Setelah penampilan Tabuh Terungtungan baru dilanjutkan dengan atraksi jegog mebarung yaitu masing-masing penabuh memukul gambelan jegog secara bersamaan antara Kru jegog yang satu dengan kru jegog lawan mebarung. Penabuh memukul gambelan jegog (musik jegog) dengan sangat keras sehingga kedegarannya musik jegog tersebut sangat riuh dan sangat gaduh dan kadang-kadang para penonton sangat sulit membedakan suara lagu musik jegog yang satu dengan yang lainnya.
Karena saking kerasnya dipukul oleh penabuh, maka tidak jarang sampai gambelan jegognya pecah dan suaranya pesek (serak).
Tepuk tangan dari para penonton sangat rame begitu juga sepirit dari masing-masing Kru jegog sangat riuh saling ejek dan saling soraki, apalagi gambelan jegognya sampai pecah dipukul oleh penabuh, maka sepirit dari kru jegog lawannya menyoraki sangat riuh dan mengejek dengan melakukan tari-tarian sambil berteriak-teriak yang bisa kadang-kadang menimbulkan emosi bagi sipenabuh jegog.
Penentuan kalah dan menang jegog mebarung ini adalah para penonton karena jegog mebarung ini tidak ada tim juri khusus jadi tergantung penilaian para penonton saat itu yaitu apabila suara salah satu gambelan jegog kedegarannya oleh sipenonton lebih dominan dan teratur suara lagu-lagunya, maka jegog tersebut dinyatakan sebagai pemenang mebarung.
Sedangkan hadiahnya bagi sipemenang adalah berupa suatu kebanggaan saja bagi kru jegog tersebut, karena jegog mebarung adalah pertunjukan kesenian yang tujuannya untuk menghibur para penonton dan para penggemarnya. Jadi pertunjukan jegog mebarung adalah pertunjukan hiburan. Kesenian jegog ini sudah melanglang buana karena sudah sering melawat ke luar negeri dan telah menembus 3 bunoa seperti Eropa, Afrika dan Asia, sedangkan intensitas lawaran ke Jepang yang paling menonjol sejak tahun 1971 di kota Saporo, Pulau Hokaido oleh almarhum Nyoman Jayus hingga tahun 2003 di Kota Okayama.
Demikian adanya Kesenian jegog di Kabupaten Jembrana yang terus berkembang dan tidak pernah surut oleh perkembangan jaman dan apabila ingin menikmati keindahan kesenian musik jegog bisa ditampilkan setiap saat di Kabupaten Jembrana.

Tari Wali Ciptaan Dewa Brahma Keunikan Bali

Bali Dance - Source




Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari relegius masyarakat Hindu di Bali. Upacara di pura-pura (tempat suci) juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan lain-lainya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap relegius dari para umat penganut Hindu di Bali. Pregina atau penari dalam semangat ngayah atau bekerja tanpa pamerih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri dan seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni.

Dengan sifat religius masyarakat dan juga ajaran agama Hindu yang universal dan semua penganut dapat mengekspresikan keyakinan terhadap Hyang Maha Kuasa, maka banyaklah timbul berbagai kesenian yang dikaitkan dengan pemujaan. Banyak tumbuh suatu kesenian yang memang ditujukan untuk suatu pemujaan tertentu, atau juga sebagai pelengkap dari pemujaan tersebut. Selain itu pula berkembang suatu seni pertunjukkan yang sifatnya menghibur. Dari kebebasan berekspresi dalam rangka pemujaan maupun sebagai pendukung dari suatu ritual tertentu, maka di Bali ada digolongkan menjadi dua buah sifat pertunjukkan atau seni. Yakni seni wali yang disakralkan dan juga seni yang tidak sakral atau disebut profan yang hanya berfungsi sebagai tontonan atau hiburan belaka.
Tari sakral atau tari wali adalah tari yang dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesucian dari tarian tersebut dapat pada peralatan yang dipergunakan seperti tari pendet yakni pada canang sari, pasepan, dan tetabuhan yang dibawa. Pada tari Rejang misalnya pada gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus rejang renteng). Topeng Sidakarya yakni pada bentuk tapel, kekereb, beras sekarura, dan lain-lainnya. Jadi semua itu tidak dapat digunakan sembarangan. Atau kesakralannya dapat juga pada si penari itu sendiri, misalnya seorang penari rejang atau penari sanghyang yang mengharuskan menggunakan penari yang masih muda dan belum pernah kawin atau belum haid. Atau dapat juga seorang penari dapat menarikan tarian sakral sebelumnya harus dilakukan pewintenan (upacara penyucian diri) terlebih dahulu.
Kalau dilihat dari sejarah tari wali ini hampir sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang pada suatu daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dapat dibuat bersamaan atau mungkin juga sesudah tari wali itu diciptakan, ataupun sebaliknya. Walaupun tarian tersebut adalah ciptaan manusia, namun karena sudah merupakan suatu konsensus dari masyarakat yang mendukungnya maka tari wali ini akan mendapatkan suatu tempat yang khusus dalam hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan agamanya, terutama agama Hindu. Kemunculan tari-tari wali di Bali atau di Indonesia tidak berbeda dengan tari-tari ritual di India. Dimana menurut mitologinya tarian itu diciptakan oleh Dewa Brahma dan sebagai Dewanya adalah Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya yakni Siwa Nata Raja. Dimana Dewa Siwa memutar dunia ini dengan gerakan mudranya yang mempunyai kekuatan gaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna tertentu dan kekuatan tertentu sehingga tarian ini tidak semata-mata keindahan rupa atau pakaian tetapi juga mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Namun kalau di Bali maka gerakan tangan yang disebut dengan mudra tidak sembarang digunakan. Hanyalah para sulinggih saja yang menggunakan gerakan tangan yang disebut dengan mudra tersebut. Karena hal tersebut adalah suatu hal yang sangat sakral. Dan di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala maka seringkali disertai dengan sesajen atau banten-banten pasupati untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Demikian pula untuk suatu pertunjukan tari wali tertentu, didahului dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak mendapatkan gangguan dari bhuta kala Graha dan Bhuta Kapiragan. Dan tak jarang pula tarian yang akan dipersembahkan dalam suatu ritual tertentu, dilakukan suatu prosesi pasupati. Baik itu secara sederhana dengan menggunakan banten pasupati atau juga dilakukan secara lebih khusus, lebih besar atau lebih istimewa. Dimana prosesi pasupati ini adalah untuk memohon kehadapan Ida Betara agar membimbing penari sesuai dengan kehendak beliau. Pasupati berarti raja gembala hewan. Yang dimaksudkan disini adalah agar si penari bagaikan hewan gembala yang diatur dan digembalakan sepenuhnya oleh pengembalanya yakni Ida Betara. Dengan demikian maka segala gerak gerik penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, namun sebagian dari gerakan tersebut dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan. Sehingga tarian tersebut akan memiliki suatu kekuatan magis atau kekuatan niskala. Sebuah tari di Bali diciptakan oleh penciptanya berdasarkan atas insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia, meniru gerakan air, angin, pohon dan sebagianya sehingga terangkum dalam suatu gerakan yang memiliki suatu nilai seni. Dan pada suatu masyarakat yang kebudayaannya tinggi serta menjunjung nilai-nilai religius agraris dan mistis, seperti di Bali, maka gerakan tari disertai dengan aksen-aksen tertentu yang mempunyai kekuatan gaib. Disertai dengan bebantenan dan juga mantra-mantra tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala. Kadangkala tarian yang dibuat tersebut dibuatlah sebuah mitologi, untuk mendukung dan menunjang kesakralan dari tari tersebut. Sehingga tidak jarang tari yang baru dibuat, namun menceritakan mitologi yang terjadi jauh sebelum tari itu dibuat. Sakral atau tidaknya suatu tarian atau pertunjukkan seni dapat diukur dari beberapa kategori umum seperti : Tari sakral tidak pernah diupah atau disewa untuk suatu pertunjukan hiburan atau komersial. Berfungsi sebagai pelaksana atau pemuput karya. Membawa atau menggunakan suatu perlengkapan atau peralatan yang khas. Dan orang yang akan menari juga adalah orang pilihan. Baik itu secara skala melalui pilihan dan persetujuan dari masyarakat pendukung, atau melalui suatu metuwunan yakni dengan cara mohon petunjuk niskala baik itu dengan cara kerauhan dan sebagainya. Contoh dari tari sakral adalah tari pendet, tari baris gede, tari rejang, tari sanghyang, tari topeng dalem sidakarya, tari ketekok jago, pertunjukkan wayang lemah dan wayang sapuh leger. Sedangkan tari profan atau bukan sakral bisa diupah atau disewa. Berfungsi sebagai hiburan atau pendukung dari suatu acara tertentu. Tidak mesti menggunakan peralatan atau perlengkapan tertentu yang bersifat sakral. Contohnya adalah tarian atau pertunjukan selain yang disebutkan di atas. 
Tari sakral dipersembahkan kehadapan Ida Betara atau Hyang Kuasa dengan ritual tertentu pada hari tertentu untuk menyenangkan Hyang Kuasa sehingga berkenan memberi berkah berupa kesejahteraan jasmani dan rohani atau sekala dan niskala. Seperti misalnya barong yang ada di pura yang diberi persembahan puja wali dan disolahkan atau ditarikan pada saat odalan atau karya tertentu adalah suatu hal yang sakral. Kesakralan akan terkait dengan sebuah ritual tertentu. Dan apabila urusannya ritual, maka ujung-ujungnya adalah keyakinan.