Tari Wali Ciptaan Dewa Brahma Keunikan Bali
Bali Dance - Source |
Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari relegius masyarakat Hindu di Bali. Upacara di pura-pura (tempat suci) juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan lain-lainya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap relegius dari para umat penganut Hindu di Bali. Pregina atau penari dalam semangat ngayah atau bekerja tanpa pamerih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan). Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri dan seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni.
Dengan sifat religius masyarakat dan juga
ajaran agama Hindu yang universal dan semua penganut dapat mengekspresikan keyakinan
terhadap Hyang Maha Kuasa, maka banyaklah timbul berbagai kesenian yang
dikaitkan dengan pemujaan. Banyak tumbuh suatu kesenian yang memang ditujukan
untuk suatu pemujaan tertentu, atau juga sebagai pelengkap dari pemujaan
tersebut. Selain itu pula berkembang suatu seni pertunjukkan yang sifatnya
menghibur. Dari kebebasan berekspresi dalam rangka pemujaan maupun sebagai
pendukung dari suatu ritual tertentu, maka di Bali ada digolongkan menjadi dua
buah sifat pertunjukkan atau seni. Yakni seni wali yang disakralkan dan juga
seni yang tidak sakral atau disebut profan yang hanya berfungsi sebagai
tontonan atau hiburan belaka.
Tari sakral atau tari wali adalah tari yang
dipentaskan dalam rangka suatu karya atau yadnya atau rangkaian ritual
tertentu, dan tarian tersebut biasanya disucikan. Kesucian dari tarian tersebut
dapat pada peralatan yang dipergunakan seperti tari pendet yakni pada canang
sari, pasepan, dan tetabuhan yang dibawa. Pada tari Rejang misalnya pada
gelungannya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh penari (khusus
rejang renteng). Topeng Sidakarya yakni pada bentuk tapel, kekereb, beras
sekarura, dan lain-lainnya. Jadi semua itu tidak dapat digunakan sembarangan.
Atau kesakralannya dapat juga pada si penari itu sendiri, misalnya seorang
penari rejang atau penari sanghyang yang mengharuskan menggunakan penari yang
masih muda dan belum pernah kawin atau belum haid. Atau dapat juga seorang
penari dapat menarikan tarian sakral sebelumnya harus dilakukan pewintenan
(upacara penyucian diri) terlebih dahulu.
Kalau dilihat dari sejarah tari wali ini
hampir sebagian besar dikaitkan dengan mitologi agama yang berkembang pada
suatu daerah tertentu. Mitologi ini mungkin dapat dibuat bersamaan atau mungkin
juga sesudah tari wali itu diciptakan, ataupun sebaliknya. Walaupun tarian
tersebut adalah ciptaan manusia, namun karena sudah merupakan suatu konsensus
dari masyarakat yang mendukungnya maka tari wali ini akan mendapatkan suatu
tempat yang khusus dalam hati masyarakat dalam kaitannya dengan keyakinan
agamanya, terutama agama Hindu. Kemunculan tari-tari wali di Bali atau di
Indonesia tidak berbeda dengan tari-tari ritual di India. Dimana menurut
mitologinya tarian itu diciptakan oleh Dewa Brahma dan sebagai Dewanya adalah
Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya yakni Siwa Nata Raja. Dimana
Dewa Siwa memutar dunia ini dengan gerakan mudranya yang mempunyai kekuatan
gaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna tertentu dan
kekuatan tertentu sehingga tarian ini tidak semata-mata keindahan rupa atau
pakaian tetapi juga mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Namun kalau di Bali
maka gerakan tangan yang disebut dengan mudra tidak sembarang digunakan.
Hanyalah para sulinggih saja yang menggunakan gerakan tangan yang disebut dengan
mudra tersebut. Karena hal tersebut adalah suatu hal yang sangat sakral. Dan di
Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala maka seringkali disertai dengan
sesajen atau banten-banten pasupati untuk penari atau perlengkapan tari
tertentu. Demikian pula untuk suatu pertunjukan tari wali tertentu, didahului
dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak mendapatkan gangguan dari bhuta kala
Graha dan Bhuta Kapiragan. Dan tak jarang pula tarian yang akan dipersembahkan
dalam suatu ritual tertentu, dilakukan suatu prosesi pasupati. Baik itu secara
sederhana dengan menggunakan banten pasupati atau juga dilakukan secara lebih
khusus, lebih besar atau lebih istimewa. Dimana prosesi pasupati ini adalah
untuk memohon kehadapan Ida Betara agar membimbing penari sesuai dengan
kehendak beliau. Pasupati berarti raja gembala hewan. Yang dimaksudkan disini
adalah agar si penari bagaikan hewan gembala yang diatur dan digembalakan
sepenuhnya oleh pengembalanya yakni Ida Betara. Dengan demikian maka segala
gerak gerik penari tidak sepenuhnya berasal dari dirinya sendiri, namun
sebagian dari gerakan tersebut dijiwai oleh Ida Betara yang dimohonkan.
Sehingga tarian tersebut akan memiliki suatu kekuatan magis atau kekuatan
niskala. Sebuah tari di Bali diciptakan oleh penciptanya berdasarkan atas
insting atau naluri dalam berkesenian. Apakah dengan meniru gerakan manusia,
meniru gerakan air, angin, pohon dan sebagianya sehingga terangkum dalam suatu
gerakan yang memiliki suatu nilai seni. Dan pada suatu masyarakat yang
kebudayaannya tinggi serta menjunjung nilai-nilai religius agraris dan mistis,
seperti di Bali, maka gerakan tari disertai dengan aksen-aksen tertentu yang
mempunyai kekuatan gaib. Disertai dengan bebantenan dan juga mantra-mantra
tertentu untuk mengundang kekuatan sekala dan niskala. Kadangkala tarian yang
dibuat tersebut dibuatlah sebuah mitologi, untuk mendukung dan menunjang
kesakralan dari tari tersebut. Sehingga tidak jarang tari yang baru dibuat,
namun menceritakan mitologi yang terjadi jauh sebelum tari itu dibuat. Sakral
atau tidaknya suatu tarian atau pertunjukkan seni dapat diukur dari beberapa
kategori umum seperti : Tari sakral tidak pernah diupah atau disewa untuk suatu
pertunjukan hiburan atau komersial. Berfungsi sebagai pelaksana atau pemuput
karya. Membawa atau menggunakan suatu perlengkapan atau peralatan yang khas.
Dan orang yang akan menari juga adalah orang pilihan. Baik itu secara skala
melalui pilihan dan persetujuan dari masyarakat pendukung, atau melalui suatu
metuwunan yakni dengan cara mohon petunjuk niskala baik itu dengan cara
kerauhan dan sebagainya. Contoh dari tari sakral adalah tari pendet, tari baris
gede, tari rejang, tari sanghyang, tari topeng dalem sidakarya, tari ketekok
jago, pertunjukkan wayang lemah dan wayang sapuh leger. Sedangkan tari profan
atau bukan sakral bisa diupah atau disewa. Berfungsi sebagai hiburan atau
pendukung dari suatu acara tertentu. Tidak mesti menggunakan peralatan atau
perlengkapan tertentu yang bersifat sakral. Contohnya adalah tarian atau
pertunjukan selain yang disebutkan di atas.
Tari sakral dipersembahkan
kehadapan Ida Betara atau Hyang Kuasa dengan ritual tertentu pada hari tertentu
untuk menyenangkan Hyang Kuasa sehingga berkenan memberi berkah berupa
kesejahteraan jasmani dan rohani atau sekala dan niskala. Seperti misalnya
barong yang ada di pura yang diberi persembahan puja wali dan disolahkan atau
ditarikan pada saat odalan atau karya tertentu adalah suatu hal yang sakral.
Kesakralan akan terkait dengan sebuah ritual tertentu. Dan apabila urusannya ritual,
maka ujung-ujungnya adalah keyakinan.
0 comments: